<a href=http://zawa.blogsome.com>Zawa Clocks</a>

Sabtu, 03 September 2011

Puasa Enam Hari di Bulan Syawal



Salah satu dari pintu-pintu kebaikan adalah melakukan puasa-puasa sunnah. Sebagaimana yang disabdakan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam: “Maukah aku tunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (Hadits hasan shohih, riwayat Tirmidzi). Puasa dalam hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat, sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Dalam sebuah hadits Qudsi disebutkan, “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.” (HR. Bukhori: 6502)


Puasa Seperti Setahun Penuh

Salah satu puasa yang dianjurkan/disunnahkan setelah berpuasa di bulan Romadhon adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan yang sangat istimewa. Dari Abu Ayyub Al Anshori, Rosululloh bersabda, “Barangsiapa yang berpuasa Romadhon kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164). Dari Tsauban, Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah hari raya Iedul Fitri, maka seperti berpuasa setahun penuh. Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh lipatnya.” (HR. Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil). Imam Nawawi rohimahulloh mengatakan dalam Syarh Shohih Muslim 8/138, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang jelas bagi madzhab Syafi’i, Ahmad, Dawud beserta ulama yang sependapat dengannya yaitu puasa enam hari di bulan Syawal adalah suatu hal yang dianjurkan.”

Dilakukan Setelah Iedul Fithri

Puasa Syawal dilakukan setelah Iedul Fithri, tidak boleh dilakukan di hari raya Iedul Fithri. Hal ini berdasarkan larangan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Umar bin Khothob, beliau berkata, “Ini adalah dua hari raya yang Rosululloh melarang berpuasa di hari tersebut: Hari raya Iedul Fithri setelah kalian berpuasa dan hari lainnya tatkala kalian makan daging korban kalian (Iedul Adha).” (Muttafaq ‘alaih)

Apakah Harus Berurutan ?

Imam Nawawi rohimahulloh menjawab dalam Syarh Shohih Muslim 8/328: “Afdholnya (lebih utama) adalah berpuasa enam hari berturut-turut langsung setelah Iedul Fithri. Namun jika ada orang yang berpuasa Syawal dengan tidak berturut-turut atau berpuasa di akhir-akhir bulan, maka dia masih mendapatkan keuatamaan puasa Syawal berdasarkan konteks hadits ini”. Inilah pendapat yang benar. Jadi, boleh berpuasa secara berturut-turut atau tidak, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bulan Syawal. Sekalipun yang lebih utama adalah bersegera melakukannya berdasarkan dalil-dalil yang berisi tentang anjuran bersegera dalam beramal sholih. Sebagaimana Allah berfirman, “Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan.” (Al Maidah: 48). Dan juga dalam hadits tersebut terdapat lafadz ba’da fithri (setelah hari raya Iedul Fithri), yang menunjukkan selang waktu yang tidak lama.

Mendahulukan Puasa Qodho’

Apabila seseorang mempunyai tanggungan puasa (qodho’) sedangkan ia ingin berpuasa Syawal juga, manakah yang didahulukan? Pendapat yang benar adalah mendahulukan puasa qodho’. Sebab mendahulukan sesuatu yang wajib daripada sunnah itu lebih melepaskan diri dari beban kewajiban. Ibnu Rojab rohimahulloh berkata dalam Lathiiful Ma’arif, “Barangsiapa yang mempunyai tanggungan puasa Romadhon, hendaklah ia mendahulukan qodho’nya terlebih dahulu karena hal tersebut lebih melepaskan dirinya dari beban kewajiban dan hal itu (qodho’) lebih baik daripada puasa sunnah Syawal”. Pendapat ini juga disetujui oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarh Mumthi’. Pendapat ini sesuai dengan makna eksplisit hadits Abu Ayyub di atas.

Semoga kebahagiaan selalu mengiringi orang-orang yang menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Shollallohu ‘alaihi wa sallam. Wallohu a’lam bish showab.

***

Artikel www.muslim.or.id

Keutamaan Zikir Dengan Memuji, Mengagungkan dan Mensucikan Nama Allah



Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu beliau berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« كَلِمَتَانِ خَفِيفَتَانِ عَلَى اللِّسَانِ ثَقِيلَتَانِ فِى الْمِيزَانِ حَبِيبَتَانِ إِلَى الرَّحْمَنِ سُبْحَانَ اللَّهِ وَبِحَمْدِهِ سُبْحَانَ اللَّهِ الْعَظِيمِ »


“Ada dua kalimat (zikir) yang ringan diucapkan di lidah, (tapi) berat (besar pahalanya) pada timbangan amal (kebaikan) dan sangat dicintai oleh ar-Rahman (Allah Ta’ala Yang Maha Luas Rahmat-Nya), (yaitu): Subhaanallahi wabihamdihi, subhaanallahil ‘azhiim (maha suci Allah dengan memuji-Nya, dan maha suci Allah yang maha agung)”[1].

Hadits ini menunjukkan besarnya keutamaan mengucapkan dua kalimat zikir ini dan menghayati kandungan maknanya, karena amal shaleh ini dicintai oleh Allah Ta’ala dan menjadikan berat timbangan amal kebaikan seorang hamba pada hari kiamat[2].

Oleh karena itu, makna dua kalimat zikir ini disebutkan dalam al-Qur’an sebagai doa dan zikir penghuni surga, yaitu dalam firman Allah Ta’ala,

{دَعْوَاهُمْ فِيهَا سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَتَحِيَّتُهُمْ فِيهَا سَلامٌ وَآخِرُ دَعْوَاهُمْ أَنِ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ}

“Doa mereka (penghuni surga) di dalam surga adalah: “Subhanakallahumma” (maha suci Engkau ya Allah), dan salam penghormatan mereka ialah: “Salaam” (kesejahteraan bagimu), serta penutup doa mereka ialah: “Alhamdulillaahi Rabbil ‘aalamin” (segala puji bagi Allah Rabb semesta alam)” (QS Yunus: 10)[3].

Beberapa faidah penting yang terkandung dalam hadits ini:

- Arti “maha suci Allah” adalah mensucikan Allah Ta’ala dari segala sifat yang menunjukkan kekurangan, celaan dan tidak pantas bagi-Nya, serta menetapkan sifat-sifat kesempurnaan bagi-Nya[4].

- Arti memuji Allah Ta’ala adalah menyanjungnya dengan sifat-sifat kesempurnaan-Nya dan perbuatan-perbuatan-Nya yang berkisar di antara keutamaan dan keadilan, maka bagi-Nyalah segala pujian yang sempurna dari semua sisi[5].

- Dikhususkannya penyebutan nama “ar-Rahman” dalam hadits ini untuk mengingatkan manusia akan maha luasnya rahmat Allah Ta’ala, di mana Dia memberi balasan bagi amal yang ringan dengan pahala yang sangat besar[6].

- Keutamaan yang dijanjikan dalam hadits ini berlaku bagi orang yang berzikir dengan mengucapkan dua kalimat zikir dia atas secara bergandengan[7].

- Zikir ini lebih utama jika diucapkan dengan lisan disertai dengan penghayatan akan kandungan maknanya dalam hati, karena zikir yang dilakukan dengan lisan dan hati adalah lebih sempurna dan utama[8].

- Perlu diingatkan di sini bahwa semua bentuk zikir, doa dan bacaan al-Qur’an yang disyariatkan dalam Islam adalah bacaan yang diucapkan dengan lidah dan tidak cukup dengan hanya terucap dalam hati tanpa menggerakkan lidah, sebagaimana pendapat mayoritas ulama Islam[9].

- Dalam hadits ini juga terdapat anjuran untuk menetapi dan banyak mengucapkan dua kalimat zikir di atas[10].

- Hadits ini juga menunjukkan adanya timbangan amal kebaikan yang hakiki pada hari kiamat dan bahwa amal perbuatan manusia akan ditimbangan dengan timbangan tersebut, ini termasuk bagian dari iman terhadap hari akhir/kiamat[11].

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 15 Jumadal ula 1432 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

[1] HSR al-Bukhari (no. 6043 dan 6304) dan Muslim (no. 2694).


[2] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih Ibnu Hibban” (3/112).

[3] Lihat kitab “Fathul Baari” (1/473).

[4] Lihat kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (7/46 – tahqiq: Saami Muhammad Salamah).

[5] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 39).

[6] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/40).

[7] Lihat keterangan imam Ibnu Hibban dalam kitab “Shahih Ibnu Hibban” (3/121).

[8] Lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 314).

[9] Lihat kitab “al-Qaulul mubiin fi akhthaa-il mushalliin” (hal. 96-99).

[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (5/40).

[11] Lihat keterangan syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam “al-‘Aqiidatul Waasithiyyah” (hal. 20).

Agama Islam untuk Seluruh Manusia